Kunjungi website LAZIS rumahPeduli di www.rumahPeduli.com

Minggu, 28 Juni 2009

Transformasi Dakwah Lewat Masjid

Oleh : Imron Zabidi, MA, M.Phil

Tatkala Rasulullah saw datang ke bumi hijrah di Madinah, tindakan pertama yang beliau lakukan untuk membangun pilar utama bagi masyarakat Islam adalah mendirikan masjid. Lalu Rasulullah saw meneruskan penataan masyarakat tersebut dengan menjadikan masjid sebagai pusatnya. Dari masjid inilah Rasulullah saw membangun generasi penerus dan menggulirkan cahaya keimanan serta risalahnya ke berbagai penjuru dunia.

Sejalan dengan substansi ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan integral, maka masjid bukan saja berperan sebagai tempat melaksanakan ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat lima waktu secara berjamaah, shalat jum’at dan sebagainya, akan tetapi mesjid juga berfungsi strategis dan signifikan sebagai sentra aktivitas sosial, pendidikan dan sisi kehidupan lainnya. Sehingga masjid bisa dikatakan sebagai ruh Islam yang menghidupkan bangunan kehidupan masyarakat Islam. Manakala menelusuri sejarah kehidupan Rasulullah SAW maka akan kita jumpai bahwa di mesjid beliau menerima para duta dari berbagai kabilah, menangani persoalan sosial, melakukan pembinaan ruhiyah, menyebarkan ajaran Islam serta menangani berbagai persoalan umat manusia lainnya.

Sekalipun sebagian masjid perannya telah direduksi menjadi marginal dan artifisial yang cenderung menekankan pembinaan ibadah ritual semata, namun dalam skala luas, masjid umumnya relatif masih mengemban dan memelihara peran yang komprehensif. Dakwah yang diartikan sebagai segala upaya untuk mengajak manusia kepada akidah yang bersih dan ibadah yang benar hanya kepada Allah semata dalam makna dan konsekwensinya yang luas senantiasa menjadi tugas dan kewajiban setiap muslim. Allah berfirman :

‘Dan hendaklah ada diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung’ (QS Ali Imran : 104).

Tugas dan kewajiban dakwah ini lebih menonjol terutama pada masa sekarang yang menampakkan longgarnya aplikasi ajaran agama dan merebaknya dekadensi moral dalam kehidupan masyarakat muslim.

Ideologi dan pemikiran sesat, hawa nafsu, kesenangan sesaat dan cinta dunia seringkali menjauhkan mereka dari agamanya sehingga mereka perlu didekatkan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, baik dalam bidang akidah, akhlak, ibadah maupun muamalah
Dalam mengemban tugas transformasi dakwah, mesjid tetap dipandang sebagai sarana yang cukup efektif dan relevan lantaran beberapa pertimbangan yang potensial, antara lain;

Pertama, masjid merupakan sarana umum umat Islam untuk beribadah, menyebarkan ilmu pengetahuan, membina generasi Islam dan lainnya yang merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari substansi dakwah sehingga setiap muslim dengan bebas dan ringan bisa mendatangi masjid tanpa rasa canggung dan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada seseorang secara spesifik karena kepemilikan masjid dihubungkan langsung dengan Allah, bukan dengan individu atau organisasi, sebagaimana firman Allah :

‘Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya disampinh (menyembah) Allah’ (QS Al Jin :18).
Sehingga di ayat lain Allah mengancam orang-orang yang menghalangi manusia yang hendak menyebut nama Allah dan berbagai aktifitas positif lainnya di dalam masjid dengan mengkategorikannya sebagai orang yang amat dzalim :
“Dan siapakan yang lebih dzalim dari pada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-Nya. dan berusaha untuk merobohkannya ? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akherat mendapat siksa yang berat” QS Al Baqarah : 114.

Kedua, umumnya orang yang datang ke masjid adalah orang baik atau paling tidak memiliki niat baik untuk beribadah dan memakmurkan masjid atau tujuan positif lainnya sehingga mereka cenderung dekat dengan tuntunan Islam. Kondisi ini menjadikan mereka sebagai obyek dakwah yang potensial dan menjanjikan. Dari sisi metode penyampaian, secara global, dakwah bisa diklasifikasikan kepada dua metode ; da’wah bilisanil hal (dakwah dengan bukti dan perbuatan) dan da’wah bilisanil maqal (dakwah dengan perkataan). Atas dasar klasifikasi tersebut maka dakwah lewat masjid perlu ditekankan kepada dua metode tersebut :

Pertama : Da’wah bilisanil hal
Dakwah lewat metode ini meliputi kerapihan dan profesionalitas serta kesolidan manajemen, estetika, kebersihan dan ketertiban, agenda kerja, pengurus takmir, imam, khatib dan muazin yang memiliki kredibiltas dan kapabiliti memadai sehingga mesjid sebagai sarana dakwah untuk menarik dan mengajak manusia kepada Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa mencapai sasarannya. Ketika Rasulullah saw menunjuk sahabat Bilal bin Rabah ra sebagai muazin di masjid Nabawi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah suaranya yang cukup merdu sehingga hal ini bisa dijadikan daya tarik tersendiri sebagai entry point untuk mengajak orang datang ke mesjid. Santunan dan perhatian terutama terhadap orang-orang yang memerlukannya di sekitar masjid juga perlu menjadi prioritas dakwah lewat masjid sehingga masjid bisa memberikan andil dalam membangun lingkungan positif. Hal-hal tersebut memerlukan penanganan yang baik.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda :

‘Sesungguhnya Allah mengharuskan untuk mumpuni dalam
segala sesuatu’(HR Muslim).

Kedua : Da’wah bilisanil maqal.
Dakwah dengan cara ini memiliki signifikansi dan urgensinya tersendiri dalam memberikan implikasi positif terhadap jiwa-jiwa yang memerlukan sentuhan risalah Islam. Alqur’an banyak merekam ayat-ayat yang berisi perintah Allah kepada Rasulullah saw untuk nenyampaikan pesan-Nya atau contoh-contoh transformasi dakwah lewat perkataan, antara lain firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya saya adalah rasul Allah atas kamu sekalian” (QS Al A’raf : 158)
dan firman-Nya:
“Dan Musa berkata : Wahai Fir’aun sesungguhnya saya adalah rasul dari Rabbul ‘alamin” (QS Al A’raf : 104).
Dalam perspektif beberapa pakar dakwah, da’wah bilisanil maqal meliputi juga dakwah lewat sarana tulisan dan audio visual lantaran keduanya merupakan cara dakwah yang memiliki peran sama dengan dakwah lewat perkataan bagi obyek dakwah yang tidak bisa berkomunikasi langsung dengan pelaku dakwah.
Beberapa sarana da’wah bilisanil maqal yang bisa ditransformasikan lewat masjid adalah, antara lain :
a. Khutbah Jum’at. Sarana ini sudah diketahui oleh setiap muslim karena khutbah menjadi bagian utama shalat Jum’at yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Etika yang diterapkan dalam pelaksanaan khutbah terutama yang berkaitan dengan pendengar menjadikan sarana ini cukup efektif manakala segala sesuatunya dioptimalkan.
b. Ceramah umum yang biasanya diberikan untuk sasaran dan dalam acara-acara spesifik yang memiliki hubungan erat dengan ajaran Islam dan realita serta persoalan
kontemporer umatnya baik dilakukan secara rutin seperti menyambut tahun baru hijriyah dan menyambut serta mengisi bulan suci Ramadhan. Atau dilakukan secara temporal seperti, pembinaan kembali akidah yang sudah terdistorsi, solidaritas terhadap umat Islam yang tertindas diberbagai belahan bumi, membangun kembali makna dan semangat jihad yang relatif sudah terdistorsi dan dimanilpulasi oleh sebagian orang, dan lainnya.
c. Kajian (pengajian) tentang Islam. Sasarannya adalah untuk membangun basis dan fondasi keimanan, wawasan dan keilmuan seorang muslim tentang ajaran agamanya.
Sarana ini bisa bersifat rutin (pekanan, bulanan) yang kandungannya meliputi berbagai sisi ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, syariat, sirah Rasulullah saw dan lainnya. Hal ini dilakukan dengan perorangan, atau kelompok dalam bentuk diskusi, seminar dan lainnya.
d. Tulisan dengan berbagai bentuknya seperti brosur, lembaran Jum’at, makalah, buku dan lainnya. Dakwah dengan cara ini pernah dipraktekan oleh Rasulullah saw dengan mengirimkan surat kepada Heraklius dan beberapa pemimpin negara non Islam untuk masuk kedalam Islam.
Hal ini dilakukan pula oleh beberapa ulama salaf terhadap para pemimpin negara seperti yang dilakukan oleh Imam Al Auza’i terhadap penguasa negeri Syam dari dinasti Abbasiyah untuk memberikan hak-hak rakyatnya.
e. Pelatihan (daurah) dalam beragam bidang yang diperlukan baik yang berkaitan dengan wawasan ke-Islaman atau berhubungan dengan sarana pendukung bagi kemajuan umat Islam.
f. Perangkat audio visual seperti vcd bisa dijadikan sarana yang efektik dan menarik orang kepada kebenaran Islam.

Dakwah bilisanil maqal dengan berbagai sarananya yang biasanya bersifat ta’lim (pengajaran) umum bisa diteruskan dan dikembangan menjadi pembinaan khusus terutama bagi mereka yang relatif memiliki perhatian, intensitas dan kwalitas yang cukup baik ditilik dari sisi wawasan atau amaliah keseharian. Sehingga pada masa kemudian ia bisa menjadi motor penggerak dan bahkan menjadi pelaku dakwah terhadap masyarakatnya.

Sesuai dengan karakteristik esensi ajaran Islam yang komprehensif dan kebutuhan manusia untuk memahami kebenaran esensi tersebut maka materi yang diberikan dalam dakwah melalui masjid seyogyanya mencakup komprehensitifitas tersebut dengan tidak meninggalkan adanya skala prioritas terhadap materi tertentu sesuai dengan keperluan, seperti persoalan akidah, akhlak, jihad, ukhuwwah Islamiyah, sirah Rasulullah saw dan lainnya. Penyempitan materi pada bidang spesifik, seperti fiqih saja tanpa menyentuh sama sekali bidang lainnya bisa memberikan implikasi terhadap marginalisai ajaran Islam yang sangat merusak citranya sebagai agama yang memeberikan tuntunan dalam segala sisi kehidupan manusia.

Dari sisi obyeknya, dakwah lewat masjid harus meliputi semua jenis, profesi dan status sosial dengan pertimbangan dan porsi yang beragam. Anak-anak dan pemuda perlu mendapat perhatian karena merupakan generasi masa depan. Sedangkan kaum wanita memerlukan perhatian yang lebih dari yang sekarang diberikan kepada mereka karena posisi dan peran strategis mereka dalam membangun masyarakat dan peradaban Islam. Keperluan akan perhatian terhadap semuanya menjadi lebih signifikan tatkala dunia sekarang ini tengah diserbu oleh arus ghazwul fikri (invasi pemikiran) dan gelombang globalisasi dengan segala muatan dan dampaknya yang positif dan negatif.

Manakala masjid difungsikan secara maksimal dan efektif sebagai sarana transformasi dakwah dengan metode dan managemen yang handal serta pelaku yang memiliki amanah dan kemampuan yang baik, maka insya Allah masjid akan memiliki peran dan andil yang lebih signifkan lagi dari realita sekarang dalam menyadarkan sebagian umat Islam yang tersesat dan meningkatkan kwalitas keimanan, semangat, pengetahuan dan pengamalan agamanya.
Wallahu alam.-

Selengkapnya...

Kamis, 18 Juni 2009

Bekerja Untuk Berbagi

Inilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi.
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”
Abu Bakar menjawab, “Aku.”
Maka Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).
Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.
Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.
Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.
Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.
Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.
Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.
Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.
Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.
Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!

By: Mohammad Fauzil Adhim
Selengkapnya...

Wajah Muram Anakku Sepulang Gasyuku

By: Arifah Handayani (28 April 2009)

Akhirnya pada hari Sabtu, tanggal 25 April lalu 21 siswa yang ikut Taekwondo ditemani 10 orang tua plus seorang guru olahraga berangkat Gasyuku dengan izin penuh dari sekolah. Wajah-wajah riang yang begitu bersemangat. Alhamdulillah, bahagianya hati ini berhasil mengupayakan keberangkatan mereka.

Setelah melalui proses cukup melelahkan karena harus pontang panting ngelobi kami berhasil mengadakan rapat yang mempertemukan para ortu, sekolah dan pelatih Taekwondo. Dalam rapat itu sekali lagi ortu yang udah bikin kesepakatan aneh (kompak ga ikut Gasyuku) diajak mereview bagaimana taekwondo dan seperti apa proses latihannya, ditambah penjelasan tentang Gasyuku lebih jauh, mereka pun termotivasi untuk mengikutsertakan anaknya. Dari 32 anggota aktif minus siswa kelas 6 dan siswa yang ga bisa ikut karena berbagai alasan logis, maka 21 orang yang mendaftar di 1 minggu terakhir kami pikir sudah cukup maksimal dari asalnya yang cuma 5 orang.

Dari rumah kami berusaha untuk menahan diri untuk tidak sekali pun membuka kontak dengan Netta. Kami pikir, no news is a good news, untuk apa mengusik kemandiriannya dengan terlalu nyinyir dengan pertanyaan-pertanyaan yang ga perlu. Kalau ada apa-apapasti guru atau pelatihnya pasti kontak kami. Tapi menjelang Ashar ga tahan juga, kami kontak gurunya, sekedar cari kabar tanpa minta bicara dengan Netta. Sengaja kami tidak membekalinya dengan handphone, karena itu akan mengganggu proses latihan di sana.

Seperti yang kami duga, everything is going all right. Mereka dalam perjalanan pulang. Anakku masuk rumah sekitar jam 16.30 Wib, masih kuat jalan kaki dari jalan raya, di mana bisnya berhenti bersama teman-temannya yang ga didampingi ortu. Tapi muram menghiasi wajahnya. Kami pikir netta kecewa karena kami ga berusaha kontak dia. Kami ga berusaha cari tahu karena begitu duduk, bak senapan mesin mengeluarkan peluru, netta langsung cerita semua pengalamannya. Wajah muramnya kembali berseri.

Habis magrib netta minta izin tidur dulu, capek banget katanya. Eh, kok di tempat tidur matanya berkaca-kaca. Kami pun tanya apa dia sakit. Tau apa jawabnya…
”Harusnya Gasyuku ini ga cuma satu malam, tiga hari kek apa seminggu. Mana masih tahun depan, nunggu ada lagi. Coba tiap semester ada.”

Ternyata itu masalahnya, dia sudah merindukan kegiatan yang baru saja dilaluinya. Begitu langkanya kegiatan semacam ini sehingga anak kecewa saat harus berakhir. Malangnya anak-anak yang ga pernah bersentuhan dengan kegiatan seperti Gasyuku, karena berbagai alasan ga ikut Taekwondo. Dulu waktu kami sekolah kegiatan Pramuka hidup, sehingga anak SD sudah biasa Persami lengkap dengan jurit malam, wide game dan api unggun. Ke mana perginya Pramuka ? Mungkin karena pendidikan dasar gratis jadi ga ada yang membiayainya di SD Negeri, sehingga tenggelam begitu saja.

Ga harus dengan Pramuka, seandainya materi pendidikan di sekolah anak-anak kita bisa dikemas dengan memuat kegiatan yang memacu semangat seperti Gasyuku ini, betapa bahagianya anak-anak kita. Ga perlu jauh-jauh ke Puncak, cukup di lingkungan sekitar rasanya masih bisa dilakukan, let say 1 bulan sekali. Tantangan pendidikan nasional kita untuk menyuguhkan kurikulum pendidikan yang lebih kontekstual.

Sepert Gasyuku harusnya kegiatan belajar di sekolah dapat menumbuhkan minat dan menggali setiap potensi hakiki anak-anak kita, sehingga mereka dapat belajar dengan cara yang menantang, partisipatif dan menuntut psikomotoris dalam memasukkan kandungan kognitif materi pelajaran. Belum lagi aspek membangun emosi positif dan nilai-nilai hidup, seperti kebersamaan, kemandirian, kekeluargaan, kedisiplinan dan kerja keras. Semua itu jika dikemas dengan tepat akan menghasilkan efektivitas yang luar biasa dalam peningkatan kemampuan anak menyerap materi.

Kalau kegiatan yang hanya berlangsung 2 hari 1 malam ini dapat memuat semua itu, dengan efektivitas yang membuat anak selalu merasa ingin lagi dan lagi, betapa hebatnya kalau sekolah bisa membuat anak kecanduan seperti ini. Mudah-mudahan Menteri Pendidikan dan para Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah bisa melihat urgensi masalah ini dan mengganti pola pembelajaran lama yang boring dengan kemasan kontekstual yang menimbulkan minat dan memacu semangat. Pada gilirannya negara juga yang akan memetik hasilnya berupa generasi penerus yang dahsyat.

Kita orang tua hanya dapat mendoakan itu semua terwujud dalam kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, meskipun gratis. Semoga…
Selengkapnya...

Selasa, 07 April 2009

MINTALAH FATWA PADA HATIMU SEBELUM MENCONTRENG

Assalamu'alaikum Wr Wb

Diriwayatkan dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak masuk surga siapa saja yang di dalam hatinya ada sedikit kesombongan, kemudian seseorang berkata: “(ya Rasulullah) sesungguhnya seseorang itu senang pakaiannya bagus dan sandalnya bagus”, Beliau bersabda: “Sesunguhnya Allah itu Indah dan Dia menyenangi keindahan, (dan yang dimaksud dengan) kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain”.

Dari hadits ini bisa kita ambil pelajaran bahwa:
1. Arti sombong ada 2 yaitu:
a. Menolak atau tidak mau menerima kebenaran.
b. Melecehkan atau merendahkan orang lain.
2. Berpakaian bagus bukanlah suatu kesombongan bila tidak memenuhi 2 kriteria sombong diatas.
3. Orang yang sombong, walupun sedikit saja maka tidak akan masuk surga alias masuk neraka.

Menolak kebenaran adalah kesombongan. Rasulullah SAW memberikan panduan praktis bagi kita untuk membedakan mana kebenaran dan mana yang salah sehingga kita bisa menolak atau menerimanya.

Dan diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan : Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berkata kepadaku, “Kamu datang hendak menanyakan tentang kebaikan dan dosa?”. Aku menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hatimu merasa tenang. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu merasa tidak enak dan membuat dada berdebar-debar, meskipun orang lain memberikan fatwa kepadamu.” (Hadits hasan, kami riwayatkan dari dua buah Musnad yaitu milik Imam Ahmad bin Hanbal dan ad-Darimi dengan sanad yang hasan).

Dari hadits ini bisa kita ambil pelajaran bahwasanya kita bisa mengukur sesuatu itu kebenaran atau perbuatan dosa dengan menanyakanya secara sungguh-sungguh (meminta fatwa) ke hati nurani kita yang paling dalam. Bila sesuatu itu benar maka hati kita tentram tapi sebaliknya dosa akan membuat hati kita tidak tentram.

Ada kisah-kisah tentang orang-orang yang melawan kata hati nuraninya sehingga mengakibatkan dia menerima konsekuensi yang berat di akhirat.

Abu Thalib paman Rasulullah SAW adalah orang yang turut membela dakwah Rasulullah karena dalam hatinya mengakui kebenaran ajaran yang dibawa ponakanya itu. Tapi sampai menjelang ajalnya, Abu Thalib belum mau masuk islam. Ketika Abu Thalib menjelang ajalnya, Rasulullah SAW mendatangi beliau yang sedang dikelilingi oleh pembesar Quraisy. Ada Abu Jahal dan Abdullah bin abi Umayyah bin Al-Mughirah. Lantas Rasulullah SAW memohon,"Wahai Paman, katakanlah Laa Ilaaha Illallah. Dengan kalimat itu aku akan bersaksi untukmu di sisi Allah SWT". Namun Abu Jahal dan temannya itu mengancam, Abu Thalib, "Apakah kamu benci agama Abdul Muttalib?". Rasulullah SAW tetap meminta agar Abu Thalib segera mengucapkan syahadat dan Abu Jahal bersikeras memintanya tetap pada agama nenek moyang, hingga Abu Thalib menghembuskan nafas dan tetap tidak membaca syahadat.

Diriwayatkan bahwasanya Abu Thalib, paman Rasulullah SAW mendapatkan siksaan paling ringan di neraka yaitu Abu Thalib ditempatkan di neraka teratas yang mana jilatan api neraka masih mengenai kakinya sehingga membuat otaknya mendidih.

Dari kisah Abu Thalib ini dapat kita ambil pelajaran bahwasanya ketika kita melawan atau menolak kata hati nurani kita yang fitrahnya condong kepada kebenaran maka kita termasuk orang yang sombong dan adanya kesombongan dalam hati kita akan membawa kita ke neraka. Abu Thalib sebenarnya hanya cukup mengucapkan kalimat yang sangat singkat yaitu “Laailahaillallah” maka beliau akan bisa selamat dari neraka atas izin Allah dan syafa’at dari Rasulullah SAW. Tapi karena Abu Thalib lebih mendengarkan kata-kata Abu Jahal untuk tetap memeluk agama nenek moyang mereka daripada mendengarkan kata-kata Rasulullah dan kata-kata hati nuraninya yang sebenarnya mengakui kebenaran ajaran Islam maka Abu Thalib meninggal dalam keadaan belum Islam sehingga siksa neraka menantinya.

Hari ini tanggal 8 April 2009, besok kita warga Indonesia yang mayoritas umat islam, akan memasuki bilik-bilik suara untuk memilih wakil-wakil yang akan mengemban amanah kita di DPR dan DPRD. Kita kemarin sudah diterangkan panjang lebar oleh ustadz Sholihuddin Al Hafidz tentang criteria pemimpin ataupun caleg atau partai yang baik untuk kita pilih. Kemarin ustadz Sholihuddin sudah memberikan criteria-kriterianya antara lain; sidhiq, amanah, tabligh dan fathonah. Kalau boleh kami ingin menguraikan dengan kalimat yang lebih dekat dengan realita kita untuk mewakili sifat sidhiq, amanah, tabligh dan fathonah tadi yaitu kita harus memilih caleg atau partai yang jujur, terbukti tidak melakukan tindak korupsi, peduli kepada rakyatnya, menyuarakan kebenaran, mampu bekerja dengan baik sebagai pemimpin ataupun anggota legislative atau kita sebut professional. Sebenarnya sudah jelas di depan mata kita mana caleg atau partai yang baik. Sebenarnya hati nurani kita mengatakan caleg atau partai itulah yang baik dan pantas menjadi pemimpin ataupun wakil rakyat, tapi kadang kita mengingkari kata hati nurani kita. Ada yang mengingkari hati nuraninya dan memilih caleg atau partai yang lain karena berbagai alasan. Ada yang tetap pada pilihanya karena itu merupakan partai pilihan keluarganya turun temurun, walaupun sudah terbukti tidak ada kebaikan di dalam partai pilihanya tadi. Ada yang sungkan bila tidak memilih caleg yang masih saudaranya sendiri padahal saudaranya tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi anggota dewan. Seperti halnya Abu Thalib yang sungkan terhadap saudara-saudaranya para pembesar kafir quraisy sehingga dia tetap memilih agama nenek moyangnya.

Kalimat singkat “Laailahaillallah” yang bila diucapkan oleh Abu Thalib hanya butuh waktu beberapa detik sebenarnya bisa menyelamatkanya di akhirat. Besok kita di bilik suara, hanya butuh waktu beberapa menit untuk menggerakan tangan kita membuat tanda contreng yang membawa implikasi besar bagi masa depan bangsa Indonesia tercinta ini, masa depan anak dan cucu kita nanti. Dan kami yakin beberapa menit di bilik suara itu nanti akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat nanti. Maka mantapkanlah hati kita untuk memilih kebenaran. Dan seperti yang Rasulullah sabdakan:

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hatimu merasa tenang. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu merasa tidak enak…”

Maka kami berpesan “Mintalah Fatwa Pada Hatimu Sebelum Mencontreng!”

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

(Bahan KaBaR: Kultum Ba'da 'Asar, Masjid Sholahuddin, 8 April 2009)
Selengkapnya...

Rabu, 04 Maret 2009

JAMS Galeri

Selamat Datang di JAMS Galeri. Disini anda bisa melihat foto-foto yang berkaitan dengan Jama'ah Masjid Sholahuddin Kanwil Ditjen Pajak D.I. Yogyakarta. Selamat menikmati dan semoga memberi inspirasi.

1. Masjid Sholahuddin (Kumpulan Foto Masjid Sholahuddin)
2. JAMS Beriman (Kumpulan Foto Kegiatan Pengajian)
3. JAMS Beramal Sholih (Kumpulan Kegiatan Sosial dari JAMS Peduli)
4. BUMM Sholahuddin (Kumpulan Foto Kegiatan Biro Usaha Milik Masjid Sholahuddin)
5. Lain-lain
Selengkapnya...

Do’a Dua Malaikat Setiap Subuh

Oleh Ihsan Tandjung

Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berinfaq. Anjuran yang bahkan pada bagian awal surah Al-Baqarah telah disebutkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala menggambarkan salah satu karakter utama orang bertaqwa.

الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan meng-infaq-kan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
(QS Al-Baqarah ayat 1-3)

Dalam ayat di atas Allah ta’aala menyebutkan karakter muttaqin yang biasa berinfaq bersama karakternya yang rajin menegakkan sholat. Di dalam Al-Qur’an hampir selalu karakter menegakkan sholat dan mengeluarkan infaq disebutkan dalam suatu rangkaian berpasangan. Hal ini mudah dimengerti sebab ajaran Islam selalu menekankan keseimbangan dalam segala sesuatu. Islam bukan semata ajaran yang mewujudkan hubungan antara hamba dengan rabbnya atau hablum minAllah, tetapi juga hubungan antara hamba dengan sesama hamba atau hablum minan-naas.

Uniknya lagi, di dalam ajaran Islam bila suatu perintah Allah ta’aala dilaksanakan, maka bukan saja hal itu menunjukkan kepatuhan seorang hamba akan rabbnya, melainkan dijamin bakal mendatangkan manfaat bagi si hamba. Ini yang disebut dengan fadhilah atau keutamaan suatu ’amal-perbuatan. Misalnya sholat malam atau tahajjud. Allah ta’aala menjanjikan bagi pelakunya bakal memperoleh kekuatan daya pengaruh ketika berbicara.

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS AlMuzzammil ayat 1-5)

Contoh lainnya bila seseorang meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’aala maka di antara fadhilah yang akan ia peroleh adalah penambahan ilmu dari Allah ta’aala, jalan keluar kesulitan hidupnya serta rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
”Dan bertakwalah kepada Allah; Allah (akan) mengajarmu.” (QS AlBaqarah ayat 282)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq ayat 2-3)

Demikian pula dengan berinfaq. Allah ta’aala menjanjikan fadhilah di balik kedermawanan seseorang yang rajin berinfaq.

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Katakanlah, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’ ayat 39)

Bahkan dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan keuntungan yang bakal diraih seseorang yang rajin berinfaq di pagi hari sekaligus kerugian yang bakal dideritanya bilamana ia tidak peduli berinfaq di pagi hari.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا
وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا (البخاري)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”, sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)” (HR Bukhary 5/270)

Pembaca yang budiman, marilah kita galakkan berinfaq di pagi hari agar malaikat mendoakan kelapangan rizqi yang memang sangat kita perlukan untuk memperlancar ibadah, amal sholeh, da’wah dan jihad kita di dunia. Dan jangan biarkan ada satu pagipun yang berlalu tanpa berinfaq sebab itu sama saja kita mengundang kerusakan dalam hidup sebagaimana doa malaikat yang satunya di setiap pagi hari.

Ketahuilah, bukan banyaknya jumlah infaq yang penting melainkan kontinuitas-nya. Lebih baik berinfaq sedikit namun konstan terus-menerus daripada berinfaq dalam jumlah besar namun hanya sekali setahun atau seumur hidup. Orang yang konstan berinfaq tidak bakal dipengaruhi oleh musim. Dalam masa paceklik tetap berinfaq, dalam masa panen tentu lebih pasti.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.”
(QS Ali Imran ayat 133-134)
Selengkapnya...

Minggu, 01 Maret 2009

Melukis Mata Sang Raja

Dahulu kala hiduplah seorang raja yang cacat satu matanya yang bagian kanan. Mata tersebut kondisinya tertutup dan tidak dapat untuk melihat. Bila ada orang yang menyinggung-nyinggung masalah kecacatan matanya, raja itu akan tersinggung, bahkan bisa marah besar.
Suatu hari raja tersebut punya keinginan agar dirinya dilukis. Dia ingin lukisanya bisa dipasang di istananya. Dia pun membuat sayembara, bagi siapa saja yang paling bagus melukis dirinya akan diberi hadiah emas dan perak.
Hari pertama ada seorang pelukis dating hendak melukis raja. Raja duduk di singgasananya kemudian dilukis oleh pelukis tadi. Karena takut sang raja tersinggung dan juga ingin membuat rasa senang, maka pelukis tadi menggambar ke dua mata raja dengan kondisi sempurna, tidak menampilkan kecacatan mata kananya. Setelah jadi, raja melihat lukisan tadi. Lukisan itu sangat indah dan mirip dengan raja, tetapi ketika raja melihat gambar mata kananya, raja jadi sangat marah.
Raja itu berkata kepada pelukis tadi “Kau penipu! Kau kuberi hukuman penjara seumur hidup!”
Akhirnya pelukis tadi dijebloskan ke penjara.
Esoknya datang pelukis yang kedua. Dia melukis sang raja dengan begitu indahnya dan apa adanya. Dia melukis mata kanan sang raja yang cacat seperti apa adanya. Melihat lukisan yang telah jadi tadi raja jadi marah.
Raja itu berkata kepada pelukis tadi “Berani sekali kau menghinaku! Kau kuberi hukuman penjara 10 tahun!”
Akhirnya pelukis kedua tadi dijebloskan ke penjara juga.
Kabar tentang kedua pelukis tadi tersebar ke masyarakat. Sejak itu tidak ada yang berani datang ke istana untuk melukis raja. Setelah lama berselang datanglah seorang muda pelukis ke hadapan raja. Dia hendak melukis raja. Walaupun sudah mendengar kabar pelukis-pelukis sebelumnya yang dihukum raja, pemuda tadi tidak takut untuk melukis raja.
Mulailah dia melukis raja. Setelah lama berselang jadilah lukisan tadi. kemudian ditunjukanlah lukisan tadi kepada raja. Melihat lukisan pemuda ini, raja jadi takjub. Lukisan itu begitu indah. Disitu digambarkan raja sedang berburu dan sedang memegang senapan yang siap ditembakan. Disitu digambarkan raja sedang dalam posisi membidik hewan buruanya, mata kananya dalam kondisi tertutup sedang mata kirinya terbuka lebar memandang searah ujung senapanya, membidik hewan buruanya. Walaupun mata kanan raja tadi digambarkan dalam keadaan tertutup, tapi karena digambar sedang dalam posisi membidik buruan, maka raja terlihat tidak cacat matanya tapi sedang membidik buruan.
Raja sangat senang dengan lukisan pemuda tadi. Karena membuat sang raja senang, pemuda tadi mendapatkan hadiah emas dan perak. Ketika akan diberi emas dan perak sebagai hadiah, pemuda tadi menolaknya.
Raja pun kaget, lalu dia bertanya, “Apa masih kurang hadiahnya?”, “Akan kutambah 2 kali lipat”.
Pemuda itu menjawab, “Mohon maaf paduka, kalu diperkenankan, saya mengajukan permintaan yang lain saja.”
Raja menjawab, “Sebutkan permintaanmu, akan kuturuti.”
Pemuda itu menjawab, “Saya minta 2 orang teman saya yang melukis paduka kemarin dibebaskan dari penjara, karena mereka kemarin tidak berniat untuk membuat paduka marah. Kasihan, orang tuanya menagisinya tiap hari.“ “Bayangkan saja bila anak paduka dipenjara, tentunya hati paduka sangat sedih sekali.”
Raja pun terharu mendengar permintaan pemuda itu. Akhirnya pelukis yang masih dalam penjara pun dibebaskan oleh raja. Dan mereka berdua diberi hadiah emas dan perak. Dan sejak itu raja tidak pernah lagi marah bila ada yang menyyinggung-nyinggung masalah matanya yang cacat. Dan raja pun tidak lagi semena-mena kepada rakyatnya.
Begitulah akhir cerita ini, akhirnya semua merasa bergembira.
****************************
Dari cerita diatas, ada hikmah yang bisa kita ambil. Bahwasanya bila kita ingin menyampaikan sesuatu kebenaran kepada orang yang mempunyai kekurangan atau kesalahan, tidak serta merta disampaikan apa adanya. InsyaAllah niat kita baik. InsyaAllah yang kita sampaikan adalah kebenaran. Tapi itu belumlah cukup. Harus juga disertai cara yang baik juga. Dengan bijaksana, dengan santun, dengan sabar dan juga dengan kecerdikan sehingga tujuan kita untuk merubah suatu kesalahan menjadi kebaikan bisa tercapai dan akhirnya orang lain bisa menerima kebenaran itu.
Kadang kita dengar adanya orang yang dengan ringan mengatakan kepada orang lain “Yang kamu lakukan itu salah, yang benar itu begini!” Atau “Yang kamu lakukan itu bid’ah, tidak ada dalilnya, yang benar itu begini, dalilnya ini!”
InsyaAllah sebenarnya yang kita katakan itu benar adanya, tapi karena cara kita yang yang “to the point” saja, yang tidak sabar ingin segera melihat perubahan, malah mendapatkan penentangan karena sifat umum manusia adalah tidak mau disalah-salahkan, tidak mau dihakimi. Yang dinasehati bukanya sadar malah sebaliknya, jadi membenci kita dan yang lebih parah, malah menolak kebenaran itu seterusnya.
Kadang juga kita dengar ada orang yang setelah nasehatnya tidak dengar orang kemudian berkata, “Ya sudah , Dinasehati tidak nurut, yang saya katakan khan benar, yang penting saya sudah menunaikan kewajiban saya untuk mengingatkan sesama muslim.” Padahal kalau kita bisa lebih bijaksana, sabar dan cerdik seperti pemuda tadi, hasil bahagia yang kita dapatkan.
Kita lihat bagaimana pemuda tadi meminta dengan santun kepada raja agar 2 temanya dibebaskan dan juga memberi permisalan bila anak raja dipenjara tentu raja sangat sedih, dengan itu akhirnya raja bisa tersadar dari kesalahanya.
Hal ini juga bisa menunjukan setulus apakah niat kita untuk memperbaiki atau berdakwah. Kalau niat kita lurus, InsyaAllah perbaikanlah yang kita tuju, bukan permusuhan, bukan kerusakan yang kita harapkan. Bila nasihat kita tidak di dengar, kita tidak dihargai, kita pun tak perlu kecewa, karena buka penghargaan dari orang yang kita cari, tapi perbaikan dan ridho Allah yang kita tuju.
Itulah tantangan bagi kita. Bila kita punya niat tulus untuk menegakan kebenaran, bila kita merasa yang kita sampaikan adalah benar maka, carilah, gunakanlah cara yang paling baik, paling bijaksana, paling santun, paling cerdik sehingga tujuan kita untuk memperbaiki bisa tercapai. Kata kuncinya adalah “MEMPERBAIKI”. Sebelum melakukanya pikirkan dulu apakah yang akan kita lakukan ini akan memperbaiki keadaan atau sebaliknya malah memperburuk keadaan. Bila malah memperburuk keadaan, lebih baik kita diam dulu. Mungkin lain waktu dengan cara yang lain atau melalui mulut orang lain keburukan tersebut bisa diperbaiki. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Seperti yang disampaikan pada Kultum Ba’da Asar di Masjid Sholahuddin Kanwil DJP DIY Tanggal 13 Februari 2008)
By: Surono
Selengkapnya...

About This Blog

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP