Kunjungi website LAZIS rumahPeduli di www.rumahPeduli.com

Minggu, 28 Juni 2009

Transformasi Dakwah Lewat Masjid

Oleh : Imron Zabidi, MA, M.Phil

Tatkala Rasulullah saw datang ke bumi hijrah di Madinah, tindakan pertama yang beliau lakukan untuk membangun pilar utama bagi masyarakat Islam adalah mendirikan masjid. Lalu Rasulullah saw meneruskan penataan masyarakat tersebut dengan menjadikan masjid sebagai pusatnya. Dari masjid inilah Rasulullah saw membangun generasi penerus dan menggulirkan cahaya keimanan serta risalahnya ke berbagai penjuru dunia.

Sejalan dengan substansi ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan integral, maka masjid bukan saja berperan sebagai tempat melaksanakan ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat lima waktu secara berjamaah, shalat jum’at dan sebagainya, akan tetapi mesjid juga berfungsi strategis dan signifikan sebagai sentra aktivitas sosial, pendidikan dan sisi kehidupan lainnya. Sehingga masjid bisa dikatakan sebagai ruh Islam yang menghidupkan bangunan kehidupan masyarakat Islam. Manakala menelusuri sejarah kehidupan Rasulullah SAW maka akan kita jumpai bahwa di mesjid beliau menerima para duta dari berbagai kabilah, menangani persoalan sosial, melakukan pembinaan ruhiyah, menyebarkan ajaran Islam serta menangani berbagai persoalan umat manusia lainnya.

Sekalipun sebagian masjid perannya telah direduksi menjadi marginal dan artifisial yang cenderung menekankan pembinaan ibadah ritual semata, namun dalam skala luas, masjid umumnya relatif masih mengemban dan memelihara peran yang komprehensif. Dakwah yang diartikan sebagai segala upaya untuk mengajak manusia kepada akidah yang bersih dan ibadah yang benar hanya kepada Allah semata dalam makna dan konsekwensinya yang luas senantiasa menjadi tugas dan kewajiban setiap muslim. Allah berfirman :

‘Dan hendaklah ada diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung’ (QS Ali Imran : 104).

Tugas dan kewajiban dakwah ini lebih menonjol terutama pada masa sekarang yang menampakkan longgarnya aplikasi ajaran agama dan merebaknya dekadensi moral dalam kehidupan masyarakat muslim.

Ideologi dan pemikiran sesat, hawa nafsu, kesenangan sesaat dan cinta dunia seringkali menjauhkan mereka dari agamanya sehingga mereka perlu didekatkan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, baik dalam bidang akidah, akhlak, ibadah maupun muamalah
Dalam mengemban tugas transformasi dakwah, mesjid tetap dipandang sebagai sarana yang cukup efektif dan relevan lantaran beberapa pertimbangan yang potensial, antara lain;

Pertama, masjid merupakan sarana umum umat Islam untuk beribadah, menyebarkan ilmu pengetahuan, membina generasi Islam dan lainnya yang merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari substansi dakwah sehingga setiap muslim dengan bebas dan ringan bisa mendatangi masjid tanpa rasa canggung dan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada seseorang secara spesifik karena kepemilikan masjid dihubungkan langsung dengan Allah, bukan dengan individu atau organisasi, sebagaimana firman Allah :

‘Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya disampinh (menyembah) Allah’ (QS Al Jin :18).
Sehingga di ayat lain Allah mengancam orang-orang yang menghalangi manusia yang hendak menyebut nama Allah dan berbagai aktifitas positif lainnya di dalam masjid dengan mengkategorikannya sebagai orang yang amat dzalim :
“Dan siapakan yang lebih dzalim dari pada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-Nya. dan berusaha untuk merobohkannya ? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akherat mendapat siksa yang berat” QS Al Baqarah : 114.

Kedua, umumnya orang yang datang ke masjid adalah orang baik atau paling tidak memiliki niat baik untuk beribadah dan memakmurkan masjid atau tujuan positif lainnya sehingga mereka cenderung dekat dengan tuntunan Islam. Kondisi ini menjadikan mereka sebagai obyek dakwah yang potensial dan menjanjikan. Dari sisi metode penyampaian, secara global, dakwah bisa diklasifikasikan kepada dua metode ; da’wah bilisanil hal (dakwah dengan bukti dan perbuatan) dan da’wah bilisanil maqal (dakwah dengan perkataan). Atas dasar klasifikasi tersebut maka dakwah lewat masjid perlu ditekankan kepada dua metode tersebut :

Pertama : Da’wah bilisanil hal
Dakwah lewat metode ini meliputi kerapihan dan profesionalitas serta kesolidan manajemen, estetika, kebersihan dan ketertiban, agenda kerja, pengurus takmir, imam, khatib dan muazin yang memiliki kredibiltas dan kapabiliti memadai sehingga mesjid sebagai sarana dakwah untuk menarik dan mengajak manusia kepada Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa mencapai sasarannya. Ketika Rasulullah saw menunjuk sahabat Bilal bin Rabah ra sebagai muazin di masjid Nabawi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah suaranya yang cukup merdu sehingga hal ini bisa dijadikan daya tarik tersendiri sebagai entry point untuk mengajak orang datang ke mesjid. Santunan dan perhatian terutama terhadap orang-orang yang memerlukannya di sekitar masjid juga perlu menjadi prioritas dakwah lewat masjid sehingga masjid bisa memberikan andil dalam membangun lingkungan positif. Hal-hal tersebut memerlukan penanganan yang baik.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda :

‘Sesungguhnya Allah mengharuskan untuk mumpuni dalam
segala sesuatu’(HR Muslim).

Kedua : Da’wah bilisanil maqal.
Dakwah dengan cara ini memiliki signifikansi dan urgensinya tersendiri dalam memberikan implikasi positif terhadap jiwa-jiwa yang memerlukan sentuhan risalah Islam. Alqur’an banyak merekam ayat-ayat yang berisi perintah Allah kepada Rasulullah saw untuk nenyampaikan pesan-Nya atau contoh-contoh transformasi dakwah lewat perkataan, antara lain firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya saya adalah rasul Allah atas kamu sekalian” (QS Al A’raf : 158)
dan firman-Nya:
“Dan Musa berkata : Wahai Fir’aun sesungguhnya saya adalah rasul dari Rabbul ‘alamin” (QS Al A’raf : 104).
Dalam perspektif beberapa pakar dakwah, da’wah bilisanil maqal meliputi juga dakwah lewat sarana tulisan dan audio visual lantaran keduanya merupakan cara dakwah yang memiliki peran sama dengan dakwah lewat perkataan bagi obyek dakwah yang tidak bisa berkomunikasi langsung dengan pelaku dakwah.
Beberapa sarana da’wah bilisanil maqal yang bisa ditransformasikan lewat masjid adalah, antara lain :
a. Khutbah Jum’at. Sarana ini sudah diketahui oleh setiap muslim karena khutbah menjadi bagian utama shalat Jum’at yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Etika yang diterapkan dalam pelaksanaan khutbah terutama yang berkaitan dengan pendengar menjadikan sarana ini cukup efektif manakala segala sesuatunya dioptimalkan.
b. Ceramah umum yang biasanya diberikan untuk sasaran dan dalam acara-acara spesifik yang memiliki hubungan erat dengan ajaran Islam dan realita serta persoalan
kontemporer umatnya baik dilakukan secara rutin seperti menyambut tahun baru hijriyah dan menyambut serta mengisi bulan suci Ramadhan. Atau dilakukan secara temporal seperti, pembinaan kembali akidah yang sudah terdistorsi, solidaritas terhadap umat Islam yang tertindas diberbagai belahan bumi, membangun kembali makna dan semangat jihad yang relatif sudah terdistorsi dan dimanilpulasi oleh sebagian orang, dan lainnya.
c. Kajian (pengajian) tentang Islam. Sasarannya adalah untuk membangun basis dan fondasi keimanan, wawasan dan keilmuan seorang muslim tentang ajaran agamanya.
Sarana ini bisa bersifat rutin (pekanan, bulanan) yang kandungannya meliputi berbagai sisi ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, syariat, sirah Rasulullah saw dan lainnya. Hal ini dilakukan dengan perorangan, atau kelompok dalam bentuk diskusi, seminar dan lainnya.
d. Tulisan dengan berbagai bentuknya seperti brosur, lembaran Jum’at, makalah, buku dan lainnya. Dakwah dengan cara ini pernah dipraktekan oleh Rasulullah saw dengan mengirimkan surat kepada Heraklius dan beberapa pemimpin negara non Islam untuk masuk kedalam Islam.
Hal ini dilakukan pula oleh beberapa ulama salaf terhadap para pemimpin negara seperti yang dilakukan oleh Imam Al Auza’i terhadap penguasa negeri Syam dari dinasti Abbasiyah untuk memberikan hak-hak rakyatnya.
e. Pelatihan (daurah) dalam beragam bidang yang diperlukan baik yang berkaitan dengan wawasan ke-Islaman atau berhubungan dengan sarana pendukung bagi kemajuan umat Islam.
f. Perangkat audio visual seperti vcd bisa dijadikan sarana yang efektik dan menarik orang kepada kebenaran Islam.

Dakwah bilisanil maqal dengan berbagai sarananya yang biasanya bersifat ta’lim (pengajaran) umum bisa diteruskan dan dikembangan menjadi pembinaan khusus terutama bagi mereka yang relatif memiliki perhatian, intensitas dan kwalitas yang cukup baik ditilik dari sisi wawasan atau amaliah keseharian. Sehingga pada masa kemudian ia bisa menjadi motor penggerak dan bahkan menjadi pelaku dakwah terhadap masyarakatnya.

Sesuai dengan karakteristik esensi ajaran Islam yang komprehensif dan kebutuhan manusia untuk memahami kebenaran esensi tersebut maka materi yang diberikan dalam dakwah melalui masjid seyogyanya mencakup komprehensitifitas tersebut dengan tidak meninggalkan adanya skala prioritas terhadap materi tertentu sesuai dengan keperluan, seperti persoalan akidah, akhlak, jihad, ukhuwwah Islamiyah, sirah Rasulullah saw dan lainnya. Penyempitan materi pada bidang spesifik, seperti fiqih saja tanpa menyentuh sama sekali bidang lainnya bisa memberikan implikasi terhadap marginalisai ajaran Islam yang sangat merusak citranya sebagai agama yang memeberikan tuntunan dalam segala sisi kehidupan manusia.

Dari sisi obyeknya, dakwah lewat masjid harus meliputi semua jenis, profesi dan status sosial dengan pertimbangan dan porsi yang beragam. Anak-anak dan pemuda perlu mendapat perhatian karena merupakan generasi masa depan. Sedangkan kaum wanita memerlukan perhatian yang lebih dari yang sekarang diberikan kepada mereka karena posisi dan peran strategis mereka dalam membangun masyarakat dan peradaban Islam. Keperluan akan perhatian terhadap semuanya menjadi lebih signifikan tatkala dunia sekarang ini tengah diserbu oleh arus ghazwul fikri (invasi pemikiran) dan gelombang globalisasi dengan segala muatan dan dampaknya yang positif dan negatif.

Manakala masjid difungsikan secara maksimal dan efektif sebagai sarana transformasi dakwah dengan metode dan managemen yang handal serta pelaku yang memiliki amanah dan kemampuan yang baik, maka insya Allah masjid akan memiliki peran dan andil yang lebih signifkan lagi dari realita sekarang dalam menyadarkan sebagian umat Islam yang tersesat dan meningkatkan kwalitas keimanan, semangat, pengetahuan dan pengamalan agamanya.
Wallahu alam.-

Selengkapnya...

Kamis, 18 Juni 2009

Bekerja Untuk Berbagi

Inilah hadis yang termaktub dalam Shahih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini,” Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi.
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku.”
Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”
Abu Bakar menjawab, “Aku.”
Maka Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti taqwa juga kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Allah serta segala sesuatu yang bernilai ‘ibadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 1-4).
Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.
Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya? Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan kepada mereka tentang keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh tak berguna yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.
Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.
Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia. Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.
Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat. Bukan sekedar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekedar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.
Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.
Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka pengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut. Sesungguhnya di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.
Agar keinginan, kesediaan dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasehat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna. Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasehat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal shalih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Allah dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.
Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal shalih di masa yang akan datang. Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal shalih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan!

By: Mohammad Fauzil Adhim
Selengkapnya...

Wajah Muram Anakku Sepulang Gasyuku

By: Arifah Handayani (28 April 2009)

Akhirnya pada hari Sabtu, tanggal 25 April lalu 21 siswa yang ikut Taekwondo ditemani 10 orang tua plus seorang guru olahraga berangkat Gasyuku dengan izin penuh dari sekolah. Wajah-wajah riang yang begitu bersemangat. Alhamdulillah, bahagianya hati ini berhasil mengupayakan keberangkatan mereka.

Setelah melalui proses cukup melelahkan karena harus pontang panting ngelobi kami berhasil mengadakan rapat yang mempertemukan para ortu, sekolah dan pelatih Taekwondo. Dalam rapat itu sekali lagi ortu yang udah bikin kesepakatan aneh (kompak ga ikut Gasyuku) diajak mereview bagaimana taekwondo dan seperti apa proses latihannya, ditambah penjelasan tentang Gasyuku lebih jauh, mereka pun termotivasi untuk mengikutsertakan anaknya. Dari 32 anggota aktif minus siswa kelas 6 dan siswa yang ga bisa ikut karena berbagai alasan logis, maka 21 orang yang mendaftar di 1 minggu terakhir kami pikir sudah cukup maksimal dari asalnya yang cuma 5 orang.

Dari rumah kami berusaha untuk menahan diri untuk tidak sekali pun membuka kontak dengan Netta. Kami pikir, no news is a good news, untuk apa mengusik kemandiriannya dengan terlalu nyinyir dengan pertanyaan-pertanyaan yang ga perlu. Kalau ada apa-apapasti guru atau pelatihnya pasti kontak kami. Tapi menjelang Ashar ga tahan juga, kami kontak gurunya, sekedar cari kabar tanpa minta bicara dengan Netta. Sengaja kami tidak membekalinya dengan handphone, karena itu akan mengganggu proses latihan di sana.

Seperti yang kami duga, everything is going all right. Mereka dalam perjalanan pulang. Anakku masuk rumah sekitar jam 16.30 Wib, masih kuat jalan kaki dari jalan raya, di mana bisnya berhenti bersama teman-temannya yang ga didampingi ortu. Tapi muram menghiasi wajahnya. Kami pikir netta kecewa karena kami ga berusaha kontak dia. Kami ga berusaha cari tahu karena begitu duduk, bak senapan mesin mengeluarkan peluru, netta langsung cerita semua pengalamannya. Wajah muramnya kembali berseri.

Habis magrib netta minta izin tidur dulu, capek banget katanya. Eh, kok di tempat tidur matanya berkaca-kaca. Kami pun tanya apa dia sakit. Tau apa jawabnya…
”Harusnya Gasyuku ini ga cuma satu malam, tiga hari kek apa seminggu. Mana masih tahun depan, nunggu ada lagi. Coba tiap semester ada.”

Ternyata itu masalahnya, dia sudah merindukan kegiatan yang baru saja dilaluinya. Begitu langkanya kegiatan semacam ini sehingga anak kecewa saat harus berakhir. Malangnya anak-anak yang ga pernah bersentuhan dengan kegiatan seperti Gasyuku, karena berbagai alasan ga ikut Taekwondo. Dulu waktu kami sekolah kegiatan Pramuka hidup, sehingga anak SD sudah biasa Persami lengkap dengan jurit malam, wide game dan api unggun. Ke mana perginya Pramuka ? Mungkin karena pendidikan dasar gratis jadi ga ada yang membiayainya di SD Negeri, sehingga tenggelam begitu saja.

Ga harus dengan Pramuka, seandainya materi pendidikan di sekolah anak-anak kita bisa dikemas dengan memuat kegiatan yang memacu semangat seperti Gasyuku ini, betapa bahagianya anak-anak kita. Ga perlu jauh-jauh ke Puncak, cukup di lingkungan sekitar rasanya masih bisa dilakukan, let say 1 bulan sekali. Tantangan pendidikan nasional kita untuk menyuguhkan kurikulum pendidikan yang lebih kontekstual.

Sepert Gasyuku harusnya kegiatan belajar di sekolah dapat menumbuhkan minat dan menggali setiap potensi hakiki anak-anak kita, sehingga mereka dapat belajar dengan cara yang menantang, partisipatif dan menuntut psikomotoris dalam memasukkan kandungan kognitif materi pelajaran. Belum lagi aspek membangun emosi positif dan nilai-nilai hidup, seperti kebersamaan, kemandirian, kekeluargaan, kedisiplinan dan kerja keras. Semua itu jika dikemas dengan tepat akan menghasilkan efektivitas yang luar biasa dalam peningkatan kemampuan anak menyerap materi.

Kalau kegiatan yang hanya berlangsung 2 hari 1 malam ini dapat memuat semua itu, dengan efektivitas yang membuat anak selalu merasa ingin lagi dan lagi, betapa hebatnya kalau sekolah bisa membuat anak kecanduan seperti ini. Mudah-mudahan Menteri Pendidikan dan para Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah bisa melihat urgensi masalah ini dan mengganti pola pembelajaran lama yang boring dengan kemasan kontekstual yang menimbulkan minat dan memacu semangat. Pada gilirannya negara juga yang akan memetik hasilnya berupa generasi penerus yang dahsyat.

Kita orang tua hanya dapat mendoakan itu semua terwujud dalam kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, meskipun gratis. Semoga…
Selengkapnya...

About This Blog

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP